- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Mei 2010 -
Baca: Ibrani 11:13-16
“Tetapi sekarang mereka (saksi-saksi iman – red.) merindukan tanah air yang lebih baik, yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka.” Ibrani 11:16
Teknologi tingkat tinggi, peralatan dokter supercanggih, obat-obatan atau ramuan yang berkhasiat dan secerdas apa pun manusia tak ada yang mampu menahan, membatasi dan menghentikan manusia untuk tidak mengalami proses yang namanya kematian, yang dialami semua manusia tanpa kecuali, tidak mengenal profesi, jenis kelamin dan usia.
“Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,” (Ibrani 9:27). Jika pada saatnya Tuhan memanggil ‘pulang’ tak seorang pun dapat mengelak. Apa pun yang kita miliki saat itu (uang, deposito, perhiasan, mobil, rumah mewah dan lainnya) akan kita tinggalkan. Ayub berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil,...” (Ayub 1:21). Akibatnya banyak orang tidak siap dan mengalami ketakutan luar biasa saat harus menghadapi kematian. Tetapi bagi kita orang percaya, kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari kehidupan yang baru. Paulus berkata, “...jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia.” (2 Korintus 5:1). Tuhan sendiri juga menegaskan, “Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu.” (Yohanes 14:2).
Jadi, yang paling penting bukan bagaimana caranya menghindari kematian itu, melainkan bagaimana agar ketika kematian itu menjemput kita, kita dalam kondisi sudah siap. Apa yang harus kita lakukan agar kita siap menghadapi kematian? Pertama, kita harus percaya di dalam hati dan mengaku dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan (baca Roma 10:9-10). Kedua, kita harus hidup dalam pertobatan setiap hari, karena “Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.” (Galatia 5:24).
Ada kehidupan baru setelah kematian, siapakah kita?
Saturday, May 22, 2010
Friday, May 21, 2010
TUHAN YANG MENYERTAI KITA
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Mei 2010 -
Baca: 2 Tawarikh 32:1-23
“ ‘Yang menyertai dia (raja Asyur – red.) adalah tangan manusia, tetapi yang menyertai kita adalah Tuhan, Allah kita, yang membantu kita dan melakukan peperangan kita.’ Oleh kata-kata Hizkia, raja Yehuda itu, rakyat mendapat kepercayaannya kembali.” 2 Tawarikh 32:8
Tidak semua pemimpin bisa menjadi panutan bagi pengikutnya. Seringkali pemimpin hanya mengumbar ucapan dan memaksa bawahannya agar mau mengikuti kehendaknya. Tetapi pemimpin yang benar selalu memberi teladan terlebih dahulu kepada pengikutnya, sehingga tanpa dipaksa pun para pengikutnya akan mengikuti jejaknya.
Hizkia adalah seorang pemimpin yang patut menjadi panutan. “Ia melakukan apa yang baik, apa yang jujur, dan apa yang benar di hadapan Tuhan, Allahnya. Dalam setiap usaha yang dimulainya untuk pelayanannya terhadap rumah Allah, dan untuk pelaksanaan Taurat dan perintah Allah, ia mencari Allahnya. Semuanya dilakukannya dengan segenap hati, sehingga segala usahanya berhasil.” (2 Tawarikh 31:20b-21). Namun orang yang setia dan benar di hadapan Tuhan bukan berarti terbebas dari masalah, justru acapkali ia harus mengalami proses demi proses dari Tuhan, baik itu penderitaan atau kesesakan. Hal ini juga dialami Hizkia “Setelah peristiwa yang menunjukkan kesetiaan Hizkia itu datanglah Sanherib, raja Asyur, menyerbu Yehuda. Ia mengepung kota-kota berkubu, dan berniat merebutnya.” (2 Tawarikh 32:1). Di tengah kesesakan yang dialami, Hizkia tidak tawar hati. Sesuai arti namaya, Allah itu kuat, Hizkia memiliki sikap hati yang benar menanggapi serangan dan kepungan musuh. Ia tidak mengeluh atau pun menggerutu kepada Tuhan, sebaliknya ia sangat yakin Tuhan bisa diandalkan. Karena itulah dia mampu memberi semangat dan menenangkan hati para tentaranya dengan perkataan iman, “Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Janganlah takut dan terkejut terhadap raja Asyur serta seluruh laskar yang menyertainya, karena yang menyertai kita lebih banyak dari pada yang menyertai dia.” (2 Tawarikh 32:7).
Kalau saja kita dapat bersikap seperti Hizkia dalam menghadapi ‘peperangan’ hidup ini, kemenangan pasti akan kita raih. Namun masih banyak orang Kristen yang jadi pecundang karena tidak mengandalkan Tuhan sepenuhnya.
Hizkia meraih kemenangan yang gilang-gemilang karena penyertaan Tuhan!
Baca: 2 Tawarikh 32:1-23
“ ‘Yang menyertai dia (raja Asyur – red.) adalah tangan manusia, tetapi yang menyertai kita adalah Tuhan, Allah kita, yang membantu kita dan melakukan peperangan kita.’ Oleh kata-kata Hizkia, raja Yehuda itu, rakyat mendapat kepercayaannya kembali.” 2 Tawarikh 32:8
Tidak semua pemimpin bisa menjadi panutan bagi pengikutnya. Seringkali pemimpin hanya mengumbar ucapan dan memaksa bawahannya agar mau mengikuti kehendaknya. Tetapi pemimpin yang benar selalu memberi teladan terlebih dahulu kepada pengikutnya, sehingga tanpa dipaksa pun para pengikutnya akan mengikuti jejaknya.
Hizkia adalah seorang pemimpin yang patut menjadi panutan. “Ia melakukan apa yang baik, apa yang jujur, dan apa yang benar di hadapan Tuhan, Allahnya. Dalam setiap usaha yang dimulainya untuk pelayanannya terhadap rumah Allah, dan untuk pelaksanaan Taurat dan perintah Allah, ia mencari Allahnya. Semuanya dilakukannya dengan segenap hati, sehingga segala usahanya berhasil.” (2 Tawarikh 31:20b-21). Namun orang yang setia dan benar di hadapan Tuhan bukan berarti terbebas dari masalah, justru acapkali ia harus mengalami proses demi proses dari Tuhan, baik itu penderitaan atau kesesakan. Hal ini juga dialami Hizkia “Setelah peristiwa yang menunjukkan kesetiaan Hizkia itu datanglah Sanherib, raja Asyur, menyerbu Yehuda. Ia mengepung kota-kota berkubu, dan berniat merebutnya.” (2 Tawarikh 32:1). Di tengah kesesakan yang dialami, Hizkia tidak tawar hati. Sesuai arti namaya, Allah itu kuat, Hizkia memiliki sikap hati yang benar menanggapi serangan dan kepungan musuh. Ia tidak mengeluh atau pun menggerutu kepada Tuhan, sebaliknya ia sangat yakin Tuhan bisa diandalkan. Karena itulah dia mampu memberi semangat dan menenangkan hati para tentaranya dengan perkataan iman, “Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Janganlah takut dan terkejut terhadap raja Asyur serta seluruh laskar yang menyertainya, karena yang menyertai kita lebih banyak dari pada yang menyertai dia.” (2 Tawarikh 32:7).
Kalau saja kita dapat bersikap seperti Hizkia dalam menghadapi ‘peperangan’ hidup ini, kemenangan pasti akan kita raih. Namun masih banyak orang Kristen yang jadi pecundang karena tidak mengandalkan Tuhan sepenuhnya.
Hizkia meraih kemenangan yang gilang-gemilang karena penyertaan Tuhan!
Subscribe to:
Posts (Atom)