- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 September 2009 -
Baca: Yeremia 22:20-30
"Aku telah berbicara kepadamu selagi engkau sentosa, tetapi engkau berkata: 'Aku tidak mau mendengarkan!' Itulah tingkah langkahmu dari sejak masa mudamu, sebab engkau tidak mau mendengarkan suara-Ku!" Yeremia 22:21
Sudah menjadi sifat manusia ketika hidupnya dalam keadaan sentosa, artinya baik-baik saja, aman, sehat, makmur dan berkecukupan, ia cenderung melupakan Tuhan dan sepertinya tidak lagi membutuhkan kehadiranNya. Saat keluarga baik-baik, anak-anak berhasil dalam studi, pekerjaan sudah mapan dengan gaji cukup tinggi, apa lagi yang perlu kita kuatirkan dan takutkan dalam hidup ini? Jadi kita tidak perlu ngoyo-ngoyo (berusaha keras - istilah Jawa, red.): ibadah ke gereja seminggu sekali saja; berdoa saat mau makan, hendak tidur pada malam hari dan setelah bangun pagi saja. That's enough! Sudah cukup! Ini sering kita lakukan. Sebaliknya kita baru mau mencari Tuhan sungguh-sungguh apabila bisnis sedang hancur, toko hampir bangkrut, studi gagal total, belum memiliki anak meski sekian tahun berumahtangga atau hal-hal buruk lain sedang menimpa kita.
Tidak salah bila kita datang mencari Tuhan ketika dalam masalah. Namun, apakah kita harus menunggu sampai musibah menimpa kita dahulu baru kita sungguh-sungguh di dalam Tuhan dan melayani Dia? Mengapa ketika masih muda, kuat, sehat dan berkellimpahan kita 'hitung-hitungan' dan tidak mau melakukan yang terbaik bagiNya?
Dalam Matius 19:16-22 ada anak mudah yang hidupnya makmud dan segalanya baik-baik saja. Bahkan dalam hal kerohanian sepertinya dia tidak bercacat, semua hukum Taurat dia lakukan dengan baik. Namun ada satu hal yang kurang, seperti kata Yesus, "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." (Matius 19:21). Dan ternyata anak muda ini lebih memilih mencintai hartanya daripada harus mengikut Tuhan. Harta/kemewahan/uang menjadi prioritas utama dalam hidupnya melebihi kasihnya kepada Tuhan. Oleh sebab itu dia memilih meninggalkan Tuhan daripada harus kehilangan hartanya.
Bersungguh-sungguhlah di dalam Tuhans elai keadaan kita baik, jangan tunggu sampai Dia menegur kita!
Saturday, September 26, 2009
Friday, September 25, 2009
Menuntun Orang Kepada Kebenaran
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 September 2009 -
Baca: Daniel 12:1-13
"Dan orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-bintang, tetap untuk selama-lamanya." Daniel 12:3
Berbicara tentang Daniel erat hubungannya dengan kesetiaan, ketekunan dan integritas. Di tengah situasi sulit Daniel muncul sebagai orang mudah yang bercahaya seperti bintang yang memancarkan sinarnya di tengah kegelapan malam. Itulah sebabnya kitab Daniel ditutup dengan begitu indahnya, di mana pada saat yang tepat orang-orang benar akan beroleh kemenangan.
Proses mencapai kemenangan tidak mudah, harus melewati ujian yang begitu berat sebagaimana halnya Daniel yang tidak serta-merta menjadi orang istimewa ('bercahaya') di antara orang-orang sezamannya. "...pada orang itu terdapat roh yang luar biasa dan pengetahuan dan akal budi, sehingga dapat menerangkan mimpi, menyingkapkan hal-hal yang tersembunyi dan menguraikan kekusutan, yakni pada Daniel yang dinamai Beltsazar oleh raja." (Daniel 5:12a). Tapi ada harga yang yang harus dibayar! Daniel telah melewati ujian demi ujian sehingga pada akhirnya Daniel dapat berkata bahwa orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cakrawala!
Orang yang bijaksana atau berhikmat dalam Perjanjian Lama dikaitkan dengan hati yang takut akan Tuhan, karena "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian." (Amsal 9:10). Jadi orang bijaksana adalah orang yang takut akan Tuhan, tidak hanya di dalam pikiran tapi juga di dalam hati dan perbuatannya. Orang-orang benar inilah yangg dapat menjadi saksi dan menuntun orang lain kepada kebenaran. Tugas dan tanggung jawab ini ada di pundak kita, sebagaimana yang Yesus perintahkan sebelum Ia terangkat ke sorga, "...pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu." (Matius 28:19-20a). Sudahkan kita memenuhi kriteria sebagai orang-orang bijaksana yang layak menuntun orang lain kepada kebenaran?
Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Lukas 6:39
Baca: Daniel 12:1-13
"Dan orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-bintang, tetap untuk selama-lamanya." Daniel 12:3
Berbicara tentang Daniel erat hubungannya dengan kesetiaan, ketekunan dan integritas. Di tengah situasi sulit Daniel muncul sebagai orang mudah yang bercahaya seperti bintang yang memancarkan sinarnya di tengah kegelapan malam. Itulah sebabnya kitab Daniel ditutup dengan begitu indahnya, di mana pada saat yang tepat orang-orang benar akan beroleh kemenangan.
Proses mencapai kemenangan tidak mudah, harus melewati ujian yang begitu berat sebagaimana halnya Daniel yang tidak serta-merta menjadi orang istimewa ('bercahaya') di antara orang-orang sezamannya. "...pada orang itu terdapat roh yang luar biasa dan pengetahuan dan akal budi, sehingga dapat menerangkan mimpi, menyingkapkan hal-hal yang tersembunyi dan menguraikan kekusutan, yakni pada Daniel yang dinamai Beltsazar oleh raja." (Daniel 5:12a). Tapi ada harga yang yang harus dibayar! Daniel telah melewati ujian demi ujian sehingga pada akhirnya Daniel dapat berkata bahwa orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cakrawala!
Orang yang bijaksana atau berhikmat dalam Perjanjian Lama dikaitkan dengan hati yang takut akan Tuhan, karena "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian." (Amsal 9:10). Jadi orang bijaksana adalah orang yang takut akan Tuhan, tidak hanya di dalam pikiran tapi juga di dalam hati dan perbuatannya. Orang-orang benar inilah yangg dapat menjadi saksi dan menuntun orang lain kepada kebenaran. Tugas dan tanggung jawab ini ada di pundak kita, sebagaimana yang Yesus perintahkan sebelum Ia terangkat ke sorga, "...pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu." (Matius 28:19-20a). Sudahkan kita memenuhi kriteria sebagai orang-orang bijaksana yang layak menuntun orang lain kepada kebenaran?
Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Lukas 6:39
Subscribe to:
Posts (Atom)