- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 September 2009 -
Baca: Yeremia 1:4-19
"Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapapun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan." Yeremia 1:7
Adalah biasa bila manusia kurang responsif terhadap panggilan Allah dalam hidupnya, karena manusia lebih suka memilih jalannya sendiri daripada harus tunduk kepada tuntunan Allah, walaupun Dia tidak pernah merancangkan kejahatan bagi kehidupan manusia, melainkan, "...rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11). Jadi "...Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas." (Ayub 23:10), kata Ayub.
Ada beberapa contoh orang yang awalnya kurang bersemangat dan banyak alasan mendhindari panggilan Allah. Ketika Musa diutus Alah membawa bangsa Israel keluar dari Mesir ia tidak menyambutnya dengan antusias, justru ia merasa dirinya tidak mampu dan tidak pandai biccara. Musa berkata, "Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (Keluaran 3:11), apalagi, "...aku ini tidak pandai bicara, dahulupun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mupun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah."" (Keluaran 4:10).
Begitu pula ketika Allah memanggil dan menetapkan Yeremia untuk menjadi nabi bagi bangsa-bangsa, Yeremia berdalih seperti Musa, "Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda." (Yeremia 1:6), walaupun Allah sudah memanggil dia sejak masih dalam kandungan ibunya, bahkan sebelum Allah membentuknya dalam kandungan Aia telah mengenalnya (Yeremia 1:5). Tidak semua orang dipanggil menjadi nabis seperti Yeremia atau sebagai pemimpin besar seperti Musa. Apa panggilan Allah bagi kita saat ini? Ialah "...supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya." (1 Tesalonika 2:12). Jadi hidup sesuai panggilan Allah adalah hidup dalam kekudusan (pertobatan) karena Dia tidak menghendaki kita binasa kekal.
Bila kita lari dari panggilan Allah dan lebih menuruti keinginan diri sendiri berarti kita sudah siap menanggung resikonya!
Thursday, September 24, 2009
Wednesday, September 23, 2009
Berduka Tapi Berbahagia
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 September 2009 -
Baca: Matius 5:1-12
"Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur." Matius 5:4
Yang namanya berdukacita pasti sangat berbeda dengan berbahagia. Dukacita adalah lawan kata dari kebahagiaan. Lalu, apakah firman yang ditulis itu tidak salah? Dukacita atau kesedihan menyelimuti hati seseorang ketika ia ditinggalkan orang yang dikasihi, entah itu orangtua, sahabat, pacar, suami atau istri dan sebagainya. Dukacita yang kita rasakan seolah-olah tak terobati meskipun terus dihibur oleh banyak orang. Lalu dukacita bagaimana yang dimaksud ayat di atas?
Ada dukacita yang merupakan dosa dan ada dukacita yang justru mendatangkan pengampunan. Dukacita yang merupakan dosa adalah kemurungan berlarut-larut karena putus asa, kecewa atau kesedihan yang mendalam terhadap perkara yang sia-sia, "...dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian," (2 Korintus 7:10).
Ada pun dukacita yang mendatangkan pengampunan adalah dukacita karena dosa, baik itu dilakukan diri sendiri ataupun perbuatan orang lain. Inilah dukacita yang Tuhan maksudkan! Menyadari ketidaklayakan di hadapan Tuhan akibat dosa-dosa yang ia perbuat akan menimbulkan rasa dukacita yang mendalam dalam diri seseorang. Orang berdosa yang yang telah dijamah oleh kuasa Roh Kudus tidak akan bersukacita karena dosa-dosanya. Sebaliknya ia akan meratap dan berduka karena sadar bahwa jalan-jalannya sudah jauh dari kebenaran dan telah melukai hati Tuhan, karena hidupnya sudah tidak kudus lagi. Dukacita semacam ini akan beroleh penghiburan dari Tuhan yaitu berupa pengampunan dan kehidupan kekal. Tuhan akan mengubah ratapan itu menjadi tari-tarian karena tuhan Yesus sudah menanggung segala dosa-dosa kita di atas kayu salib. Rasa dukacita itu seharusnya ada di dalam hati kita setiap kali kita berbuat dosa dan menyadarinya. Dukacita ini timbul bukan karena kekuatan kita sendiri, melainkan pekerjaan Roh Kudus. Bila masih ada orang Kristen yang telah bersukacita dan kelihatan santai-santai saja ketika melakukan dosa berarti masih perlu dipertanyakan kelayakannya sebagai orang percaya, berarti ia belum hidup dalam pertobatan. Ingat, tanpa pertobatan kita tidak beroleh bagian di dalam Kerajaan Sorga. Alkitab mencatat hal ini: "...tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan." (Ibrani 12:15).
Dukacita karena dosa menunjukkan seseorang peka dan benci terhadap dosa!
Baca: Matius 5:1-12
"Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur." Matius 5:4
Yang namanya berdukacita pasti sangat berbeda dengan berbahagia. Dukacita adalah lawan kata dari kebahagiaan. Lalu, apakah firman yang ditulis itu tidak salah? Dukacita atau kesedihan menyelimuti hati seseorang ketika ia ditinggalkan orang yang dikasihi, entah itu orangtua, sahabat, pacar, suami atau istri dan sebagainya. Dukacita yang kita rasakan seolah-olah tak terobati meskipun terus dihibur oleh banyak orang. Lalu dukacita bagaimana yang dimaksud ayat di atas?
Ada dukacita yang merupakan dosa dan ada dukacita yang justru mendatangkan pengampunan. Dukacita yang merupakan dosa adalah kemurungan berlarut-larut karena putus asa, kecewa atau kesedihan yang mendalam terhadap perkara yang sia-sia, "...dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian," (2 Korintus 7:10).
Ada pun dukacita yang mendatangkan pengampunan adalah dukacita karena dosa, baik itu dilakukan diri sendiri ataupun perbuatan orang lain. Inilah dukacita yang Tuhan maksudkan! Menyadari ketidaklayakan di hadapan Tuhan akibat dosa-dosa yang ia perbuat akan menimbulkan rasa dukacita yang mendalam dalam diri seseorang. Orang berdosa yang yang telah dijamah oleh kuasa Roh Kudus tidak akan bersukacita karena dosa-dosanya. Sebaliknya ia akan meratap dan berduka karena sadar bahwa jalan-jalannya sudah jauh dari kebenaran dan telah melukai hati Tuhan, karena hidupnya sudah tidak kudus lagi. Dukacita semacam ini akan beroleh penghiburan dari Tuhan yaitu berupa pengampunan dan kehidupan kekal. Tuhan akan mengubah ratapan itu menjadi tari-tarian karena tuhan Yesus sudah menanggung segala dosa-dosa kita di atas kayu salib. Rasa dukacita itu seharusnya ada di dalam hati kita setiap kali kita berbuat dosa dan menyadarinya. Dukacita ini timbul bukan karena kekuatan kita sendiri, melainkan pekerjaan Roh Kudus. Bila masih ada orang Kristen yang telah bersukacita dan kelihatan santai-santai saja ketika melakukan dosa berarti masih perlu dipertanyakan kelayakannya sebagai orang percaya, berarti ia belum hidup dalam pertobatan. Ingat, tanpa pertobatan kita tidak beroleh bagian di dalam Kerajaan Sorga. Alkitab mencatat hal ini: "...tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan." (Ibrani 12:15).
Dukacita karena dosa menunjukkan seseorang peka dan benci terhadap dosa!
Subscribe to:
Posts (Atom)