Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Maret 2020
Baca: Ulangan 1:1-8
"Majulah, berangkatlah, pergilah ke pegunungan orang Amori dan kepada
semua tetangga mereka di Araba-Yordan, di Pegunungan, di Daerah Bukit,
di Tanah Negeb dan di tepi pantai laut, yakni negeri orang Kanaan, dan
ke gunung Libanon sampai Efrat, sungai besar itu." Ulangan 1:7
Bangsa Israel harus terlebih dahulu menggembara dan berputar-putar di padang gurun selama empat puluh tahun lamanya sebelum mencapai Tanah Perjanjian. Selama itukah seharusnya perjalanan yang ditempuh dari Mesir untuk menuju Kanaan? Alkitab menyatakan, "Sebelas hari perjalanan jauhnya dari Horeb sampai Kadesh-Barnea, melalui jalan pegunungan Seir." (Ulangan 1:2). Untuk mencapai Kanaan, normalnya, mereka hanya butuh waktu sebelas hari perjalanan, namun bangsa Israel harus menempuhnya selama empat puluh tahun. Apakah karena medan yang harus ditempuh teramat sulit? Apakah tantangan yang harus dihadapi terlalu besar?
Tuhan mengijinkan bangsa Israel harus mengalami proses panjang selama 40 tahun karena respons hati yang negatif, yaitu selalu membesar-besarkan masalah atau kesulitan yang dialami. Respons hati yang negatif adalah tanda ketidakpercayaan, lawan dari iman. Janji Tuhan yang seharusnya dapat segera mereka nikmati menjadi tertunda begitu lama; kemenangan di depan mata tidak dapat diraih dan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk meraihnya. Bahkan sebagian besar dari generasi yang dipanggil keluar dari Mesir tidak pernah mencapai Tanah Perjanjian karena mereka mati di padang gurun. Sesungguhnya Tuhan telah memanggil mereka keluar dari perbudakan di Mesir untuk pergi ke suatu negeri yang telah dijanjikan-Nya. "Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang
Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang
baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya," (Keluaran 3:8). Sayang, bangsa Israel tidak memiliki respons hati yang benar.
Hati dan pikiran mereka dikendalikan oleh situasi yang terlihat secara kasat mata. Akibatnya? Mereka mudah sekali mengerutu, mengomel, bersungut-sungut terhadap apa yang dialami. Pengalaman masa lalu yang menyakitkan di Mesir telah membentuk pola pikir mereka, sehingga mereka berpikir bahwa hidup mereka tidak mungkin menjadi baik. Semakin kita dikendalikan situasi, semakin kita meragukan kuasa Tuhan!
Friday, March 20, 2020
Thursday, March 19, 2020
BANGSA ISRAEL: SEBAGAI PEMBELAJARAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Maret 2020
Baca: Mazmur 78:1-31
"dan jangan seperti nenek moyang mereka, angkatan pendurhaka dan pemberontak, angkatan yang tidak tetap hatinya dan tidak setia jiwanya kepada Allah." Mazmur 78:8
Selama menempuh perjalanan di padang gurun bangsa Israel selalu menunjukkan kedegilan dan pemberontakannya kepada Tuhan, padahal di sepanjang perjalanan tersebut Tuhan telah menunjukkan kebesaran dan kedahsyatan kuasa-Nya melalui mujizat-mujizat yang Ia kerjakan. Karena pemberontakannya, sebagian besar dari mereka mati di padang gurun sebelum mencapai Tanah Perjanjian. Pemazmur menuliskan hal ini sebagai pembelajaran berharga bagi orang percaya agar bisa mengambil sisi positifnya.
Bangsa Israel gagal karena tidak taat melakukan perintah Tuhan. Mereka mendekat kepada Tuhan dan berseru kepada-Nya hanya saat perlu. Begitu keadaan sudah membaik dan pulih, mereka kembali hidup dalam pemberontakan. Tindakan mereka seperti suatu siklus, sampai-sampai Tuhan menyebut mereka "...suatu bangsa yang tegar tengkuk." (Keluaran 32:9). Tegar tengkuk bisa diartikan: keras kepala, sulit ditangani atau diajak bekerja sama, suka memberontak, menolak untuk patuh dan tidak dapat diatur. Pemberontakan dan ketidaktaatan inilah yang menjadi akar kegagalan mereka. Andaikan mereka mau taat, mereka pasti tidak akan mati di padang gurun. Jadi, ketaatan atau ketidaktaatan selalu membawa dampak. Ketaatan membuka pintu kesempatan bagi seseorang untuk mengalami dan menikmati janji-janji Tuhan. Sebaliknya, ketidaktaatan semakin menuutup pintu berkat, tapi membuka pintu gerbang kehancuran.
Contoh lain adalah kegagalan Saul. Ia yang telah dipercaya Tuhan untuk menjadi pemimpin atas Israel justru tidak memberikan teladan hidup yang baik. Karena ketidaktaatannya Saul harus menuai akibatnya juga. Berkatalah Samuel kepada Saul, "Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan. Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim. Karena engkau telah menolak firman TUHAN, maka Ia telah menolak engkau sebagai raja." (1 Samuel 15:22-23).
Tak ingin gagal dan hancur? Jadilah orang-orang yang taat kepada Tuhan.
Baca: Mazmur 78:1-31
"dan jangan seperti nenek moyang mereka, angkatan pendurhaka dan pemberontak, angkatan yang tidak tetap hatinya dan tidak setia jiwanya kepada Allah." Mazmur 78:8
Selama menempuh perjalanan di padang gurun bangsa Israel selalu menunjukkan kedegilan dan pemberontakannya kepada Tuhan, padahal di sepanjang perjalanan tersebut Tuhan telah menunjukkan kebesaran dan kedahsyatan kuasa-Nya melalui mujizat-mujizat yang Ia kerjakan. Karena pemberontakannya, sebagian besar dari mereka mati di padang gurun sebelum mencapai Tanah Perjanjian. Pemazmur menuliskan hal ini sebagai pembelajaran berharga bagi orang percaya agar bisa mengambil sisi positifnya.
Bangsa Israel gagal karena tidak taat melakukan perintah Tuhan. Mereka mendekat kepada Tuhan dan berseru kepada-Nya hanya saat perlu. Begitu keadaan sudah membaik dan pulih, mereka kembali hidup dalam pemberontakan. Tindakan mereka seperti suatu siklus, sampai-sampai Tuhan menyebut mereka "...suatu bangsa yang tegar tengkuk." (Keluaran 32:9). Tegar tengkuk bisa diartikan: keras kepala, sulit ditangani atau diajak bekerja sama, suka memberontak, menolak untuk patuh dan tidak dapat diatur. Pemberontakan dan ketidaktaatan inilah yang menjadi akar kegagalan mereka. Andaikan mereka mau taat, mereka pasti tidak akan mati di padang gurun. Jadi, ketaatan atau ketidaktaatan selalu membawa dampak. Ketaatan membuka pintu kesempatan bagi seseorang untuk mengalami dan menikmati janji-janji Tuhan. Sebaliknya, ketidaktaatan semakin menuutup pintu berkat, tapi membuka pintu gerbang kehancuran.
Contoh lain adalah kegagalan Saul. Ia yang telah dipercaya Tuhan untuk menjadi pemimpin atas Israel justru tidak memberikan teladan hidup yang baik. Karena ketidaktaatannya Saul harus menuai akibatnya juga. Berkatalah Samuel kepada Saul, "Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan. Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim. Karena engkau telah menolak firman TUHAN, maka Ia telah menolak engkau sebagai raja." (1 Samuel 15:22-23).
Tak ingin gagal dan hancur? Jadilah orang-orang yang taat kepada Tuhan.
Subscribe to:
Posts (Atom)