Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Maret 2020
Baca: 2 Korintus 4:1-15
"Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata,
bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari
diri kami." 2 Korintus 4:7
Rasul Paulus adalah contoh orang yang mengalami proses pembentukan dari Tuhan: "Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah. Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada
sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak
sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka
semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai
aku." (1 Korintus 15:9-10). Dalam hal ini rasul Paulus hendak menegaskan bahwa kalau pun hidupnya dapat berharga, menjadi sesuatu yang berarti, itu karena kasih karunia Tuhan semata. Ia sadar bahwa sesungguhnya ia tak lebih dari tanah liat yang hina dan tak berharga, tapi Tuhan sanggup membentuknya menjadi sebuah bejana yang berharga di mata-Nya. Karena campur tangan Tuhan hidup Paulus diangkat dan dipakai untuk menjadi alat kemuliaan-Nya.
Untuk menjadi bejana dan perabot untuk tujuan yang mulia kita harus rela dan mau dibentuk oleh Tuhan, sebab tanah liat tidak secara otomatis berubah menjadi bejana yang halus dan menarik tanpa melewati proses terlebih dahulu, sebab di dalam Tuhan tidak ada yang instan... Bisa saja tukang periuk membuat bejana itu secara cepat atau instan, tapi hasilnya? Tidak bisa dijamin kualitasnya, mungkin saja bejana tersebut tidak bisa bertahan lama, retak dan mudah pecah. Bangsa Israel harus mengalami proses pembentukan Tuhan di padang gurun 40 tahun lamanya karena mereka suka memberontak, bersungut-sungut, mengeluh dan hidup dalam ketidaktaatan.
Berbicara tentang proses berarti ada waktu yang dibutuhkan! Ketika dibentuk Tuhan kadangkala waktunya tidak sebentar. Ini bukan bicara tentang menit atau jam, hari atau bulan, kadangkala membutuhkan waktu tahunan. Waktu masuk dalam prosesnya Tuhan, kita inginnya dipercepat. Ingat, lamanya proses tergantung bagaimana kondisi tanah liat dan tergantung apa yang mau dibentuk.
Bila kita sedang menghadapi proses pembentukan yang membutuhkan waktu lama, itu artinya Tuhan sedang membentuk kita untuk bejana indah di pemandangan mata-Nya!
Tuesday, March 17, 2020
Monday, March 16, 2020
TANAH LIAT DI TANGAN SANG PENJUNAN (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Maret 2020
Baca: Yeremia 18:1-17
"Masakan Aku tidak dapat bertindak kepada kamu seperti tukang periuk ini, hai kaum Israel!, demikianlah firman TUHAN. Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku," Yeremia 18:6
Perjalanan hidup kita ini tak ubahnya seperti tanah liat di tangan penjunan. Kita adalah tanah liat dan Tuhan adalah Sang Penjunan. Tapi banyak orang tak menyadari bahwa dirinya adalah tanah liat sehingga mereka seringkali memaksakan kehendaknya kepada Tuhan; kita suka mengatur Tuhan untuk mengikuti kemauan kita; kita tak mau tunduk kepada kehendak Tuhan. "Celakalah orang yang berbantah dengan Pembentuknya; dia tidak lain dari beling periuk saja! Adakah tanah liat berkata kepada pembentuknya: 'Apakah yang kaubuat?' atau yang telah dibuatnya: 'Engkau tidak punya tangan!'" (Yesaya 45:9). Karena itu Tuhan menyuruh Yeremia untuk pergi ke rumah tukang periuk supaya ia dapat belajar dari apa yang diperbuat oleh tukang periuk supaya ia dapat belajar dari apa yang diperbuat oleh tukang periuk atas tanah liat.
Mengapa Tuhan menggambarkan manusia sebagai tanah liat? Berbicara tentang tanah liat, Tuhan hendak menegaskan kepada kita bahwa sesungguhnya kita ini lemah adanya, tak punya kekuatan apa-apa. Di luar Tuhan (tanpa Tuhan turut campur tangan), kita tak mampu berbuat apa-apa. Berbicara tentang tanah liat, Tuhan juga mau mengingatkan bahwa kita ini tak punya arti apa-apa, tidak ada harganya, dan kotor. Tanah itu hanya bisa diinjak-injak oleh banyak orang dan akhirnya menjadi rusak... namun ketika tanah itu berada dalam genggaman tangan si penjunan, maka tanah akan dibentuk sedemikian rupa menurut apa yang baik pada pemandangannya, sampai akhirnya tanah yang sebelumnya tidak berharga sama sekali menjadi sesuatu yang berharga, yang tidak berarti menjadi sesuatu yang sangat berarti. "Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur," (Mazmur 113:7).
Untuk menjadi bejana yang berharga ada harga yang harus dibayar, ada proses yang harus kita jalani. Proses memang menyakitkan secara daging dan banyak orang tidak tahan, dan gagal di tengah jalan, seperti bangsa Israel. Karena itu milikilah penyerahan penuh kepada Tuhan, dan jangan sekali-kali kita memberontak kepada-Nya. Sebab semakin kita memberontak, semakin panjang proses yang harus kita lewati.
Sebagai Penjunan Tuhan tahu yang terbaik untuk kita! Karena itu tetaplah taat.
Baca: Yeremia 18:1-17
"Masakan Aku tidak dapat bertindak kepada kamu seperti tukang periuk ini, hai kaum Israel!, demikianlah firman TUHAN. Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku," Yeremia 18:6
Perjalanan hidup kita ini tak ubahnya seperti tanah liat di tangan penjunan. Kita adalah tanah liat dan Tuhan adalah Sang Penjunan. Tapi banyak orang tak menyadari bahwa dirinya adalah tanah liat sehingga mereka seringkali memaksakan kehendaknya kepada Tuhan; kita suka mengatur Tuhan untuk mengikuti kemauan kita; kita tak mau tunduk kepada kehendak Tuhan. "Celakalah orang yang berbantah dengan Pembentuknya; dia tidak lain dari beling periuk saja! Adakah tanah liat berkata kepada pembentuknya: 'Apakah yang kaubuat?' atau yang telah dibuatnya: 'Engkau tidak punya tangan!'" (Yesaya 45:9). Karena itu Tuhan menyuruh Yeremia untuk pergi ke rumah tukang periuk supaya ia dapat belajar dari apa yang diperbuat oleh tukang periuk supaya ia dapat belajar dari apa yang diperbuat oleh tukang periuk atas tanah liat.
Mengapa Tuhan menggambarkan manusia sebagai tanah liat? Berbicara tentang tanah liat, Tuhan hendak menegaskan kepada kita bahwa sesungguhnya kita ini lemah adanya, tak punya kekuatan apa-apa. Di luar Tuhan (tanpa Tuhan turut campur tangan), kita tak mampu berbuat apa-apa. Berbicara tentang tanah liat, Tuhan juga mau mengingatkan bahwa kita ini tak punya arti apa-apa, tidak ada harganya, dan kotor. Tanah itu hanya bisa diinjak-injak oleh banyak orang dan akhirnya menjadi rusak... namun ketika tanah itu berada dalam genggaman tangan si penjunan, maka tanah akan dibentuk sedemikian rupa menurut apa yang baik pada pemandangannya, sampai akhirnya tanah yang sebelumnya tidak berharga sama sekali menjadi sesuatu yang berharga, yang tidak berarti menjadi sesuatu yang sangat berarti. "Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur," (Mazmur 113:7).
Untuk menjadi bejana yang berharga ada harga yang harus dibayar, ada proses yang harus kita jalani. Proses memang menyakitkan secara daging dan banyak orang tidak tahan, dan gagal di tengah jalan, seperti bangsa Israel. Karena itu milikilah penyerahan penuh kepada Tuhan, dan jangan sekali-kali kita memberontak kepada-Nya. Sebab semakin kita memberontak, semakin panjang proses yang harus kita lewati.
Sebagai Penjunan Tuhan tahu yang terbaik untuk kita! Karena itu tetaplah taat.
Subscribe to:
Posts (Atom)