Monday, October 16, 2017

APAKAH HATI KITA TANAH YANG BAIK?

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Oktober 2017

Baca:  Lukas 8:4-15

"Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan."  Lukas 8:15

Amsal 27:19:  "Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu."  Itulah sebabnya kita harus menjaga kondisi hati kita dengan segala kewaspadaan, sebab dari situlah terpancar kehidupan  (baca  Amsal 4:23), dan dari hati timbul segala pikiran jahat  (baca  Matius 15:19).  Ini menunjukkan bahwa kondisi hati memiliki peranan penting dalam perjalanan hidup kita.  Apa yang terjadi dengan hidup ini sangat bergantung pada apa yang ada di hati, dan gambaran hidup yang sekarang sedang kita kita jalani adalah juga cerminan hati kita.  Kalau hati kita bersih, jalan hidup kita juga akan bersih;  jika hati kita penuh sukacita maka kita akan mengerjakan segala sesuatu juga dengan sukacita.  Tetapi apabila hati kita pahit, jalan yang kita tempuh pun akan diwarnai dengan kepahitan.

     Alkitab sering menggambarkan hati manusia sebagai tanah:  ada yang berbatu-batu, tanah di pinggiran jalan yang keras, tanah yang penuh semak duri, tetapi ada juga tanah yang subur, tanah di mana benih firman Tuhan dapat bertumbuh dan akan berbuah lebat.  Meskipun sama-sama mendengar firman Tuhan, dampaknya terhadap masing-masing orang berbeda, sangat bergantung pada kondisi  'tanah'  hati mereka.  Jika mereka mendengar firman, tetapi hati keras dan berbatu, firman Tuhan tidak akan berarti apa-apa dalam hidup mereka.

     Hati dikategorikan sebagai tanah yang baik apabila ia dalam keadaan bersih:  tidak ada kebencian, sakit hati, kepahitan, kecewa, dendam, atau ambisi-ambisi duniawi.  Sekalipun kita rajin datang ke ibadah dan mendengarkan khotbah berkali-kali, tetapi jika hati kita belum beres dari hal-hal tersebut  (benci, sakit hati, pahit, kecewa, dendam, ambisi dan lain-lain), maka firman Tuhan itu tidak akan berdampak dalam hidup kita.  "Apakah Dia yang menguji hati tidak tahu yang sebenarnya?"  (Amsal 24:12).  Tanah hati seperti ini harus dibajak, dicangkul, dibersihkan dan diratakan.  Daud berdoa:  "Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;"  (Mazmur 139:23).

Benih firman yang tertanam di tanah hati yang baik pasti tumbuh dan berbuah lebat!

Sunday, October 15, 2017

BAGAIMANA MENJADI YANG TERBESAR?

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Oktober 2017

Baca:  Lukas 9:46-48

"Maka timbullah pertengkaran di antara murid-murid Yesus tentang siapakah yang terbesar di antara mereka."  Lukas 9:46

Siapa yang tak mau menjadi yang terbesar, terhebat, terbaik dan terkenal di bidangnya masing-masing?  Semua insan yang ada di dunia ini sangat menginginkan semuanya itu.  Maka demi mewujudkan keinginan itu tidak sedikit orang berani menempuh jalan yang sesat alias menghalalkan segala cara:  meminta petunjuk kepada paranormal, memakai susuk penglaris, menyuap, berlaku curang, sikut sana sini, atau jegal sana sini.  Dunia ini penuh dengan orang yang hatinya penuh siasat dan kecurangan.

     Perhatikan prinsip yang diajarkan oleh Tuhan Yesus:  "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."  (Matius 20:26-28).  Untuk menjadi yang terbesar justru harus dimulai dari menjadi seorang hamba atau pelayan bagi sesamanya.  Dengan kata lain, siapa yang ingin menjadi tuan harus rela menjadi hamba terlebih dahulu.  Ini berbicara tentang kerendahan hati!  Tuhan sangat menentang orang yang berlaku congkak dan mengasihani orang yang rendah hati  (baca  Yakobus 4:6).  Tuhan tidak pernah melarang kita memiliki impian, harapan atau ambisi yang besar;  Tuhan tidak pernah melarang kita memiliki tekad yang kuat untuk menjadi terbesar.  Asalkan impian, harapan, ambisi itu dapat menjadi motor penggerak yang dapat mendorong kita untuk maju dan menjadi lebih baik.  Tetapi kalau ambisi dan keinginan tersebut mulai mengarah ke negatif dan bertentangan dengan kehendak Tuhan, itu yang patut diwaspadai.

     Yang terbesar di pemandangan Tuhan bukanlah mereka yang mempunyai kemampuan luar biasa, tapi mereka yang mau melayani, merendahkan hati, dan mau berkorban bagi Tuhan dan sesama.  Berarti menjadi orang yang terbesar sangat ditentukan oleh kualitas hidupnya sendiri.  Orang-orang yang hatinya tulus, rendah hati, bersih dan apa adanya dengan Tuhan, seperti seorang anak kecil, itulah yang Tuhan cari.

"Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."  Matius 23:12