Wednesday, August 2, 2017

SISI POSITIF DI BALIK SEBUAH TEKANAN

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Agustus 2017

Baca:  Mazmur 119:65-72

"Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu."  Mazmur 119:71

John Willard Marriott, yang lahir 17 September 1900 dan meninggal 13 Agustus 1985, adalah seorang wirausahawan dan pengusaha kenamaan dari Amerika Serikat.  Ia merupakan pendiri dari Marriott International, perusahaan induk dari perusahaan ramah tamah terbesar, rantai hotel, dan pelayanan makanan.  Ada kalimat bijak yang terkenal dari JW Marriott ini:  "Kayu yang baik tidak tumbuh dengan mudah;  semakin kencang angin, semakin kuatlah pohon."  Artinya sebuah pohon kayu akan terlihat kualitasnya ketika mampu berdiri kuat di tengah terpaan angin yang datang.  Teruji karena melewati proses!

     Tekanan, penindasan, masalah, kesulitan, penderitaan dan sebagainya adalah bentuk proses yang terkadang Tuhan ijinkan untuk kita jalani.  Ketika diperhadapkan dengan proses itu kebanyakan dari kita akan mengeluh, bersungut-sungut, marah, kecewa, putus asa, protes, menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan dan bahkan menyalahkan Tuhan.  Sadar atau tidak, semuanya itu adalah salah satu cara yang dipakai Tuhan untuk menegur kita, melatih iman kita dan membentuk kita supaya menjadi pribadi yang berkualitas.  Tetapi semua sangat bergantung pada cara pandang tiap-tiap orang dalam menyikapinya.  Kalau kita melihat dari sisi positif, tekanan yang ada justru semakin menyadarkan kita akan keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki, sehingga hal itu akan mendorong kita untuk mencari Tuhan dengan sungguh, bergantung pada-Nya dan berharap hanya kepada Tuhan;  kita yang sebelumnya hidup menyimpang dari jalan-jalan Tuhan kini mulai belajar memiliki penyerahan diri penuh dengan kehendak Tuhan.

     Pemazmur memiliki pengalaman hidup yang demikian:  "Sebelum aku tertindas, aku menyimpang, tetapi sekarang aku berpegang pada janji-Mu."  (ayat 67).  Jadi, selalu ada maksud yang Tuhan ingin sampaikan melalui keadaan yang mungkin tidak menyenangkan dan sangat menyakitkan secara daging, yaitu supaya kita tidak lagi hidup dalam pelanggaran demi pelanggaran, dan semakin menyadari bahwa selama ini kita telah jauh meninggalkan Tuhan dan hidup sekehendak hati.

Tekanan-tekanan dalam kehidupan akan membentuk kita menjadi pribadi yang tidak mudah rapuh, semakin kuat dan berkenan di pemandangan Tuhan!

Tuesday, August 1, 2017

PEMIMPIN SEJATI: Berjiwa Besar dan Menjadi Berkat

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Agustus 2017

Baca:  Filipi 3:17-21

"Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu."  Filipi 3:17

Pada 28 Februari 2013 silam dunia dikejutkan dengan berita mundurnya Paus Benediktus XVI dari jabatannya sebagai pemimpin Takhta Suci Vatikan.  Alasan utama yang membuatnya mundur adalah karena faktor usia  (85 tahun)  dan kesehatannya yang terus menurun.  Beliau merasa inilah saatnya menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada generasi yang lebih muda.  Kita teringat Musa yang menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan atas Israel kepada Yosua.  "Aku sekarang berumur seratus dua puluh tahun; aku tidak dapat giat lagi,"  (Ulangan 31:2).

     Adalah tidak mudah bagi banyak orang untuk meninggalkan segala sesuatu yang selama ini telah menjadi zona nyaman, atau melepaskan kekuasaan yang selama ini berada di tangan.  Butuh keberanian dan kerendahan hati untuk melakukannya!  Ini berbeda dengan pemimpin-pemimpin di masa sekarang ini, di mana kebanyakan mereka enggan melepaskan jabatan dan kekuasaannya.  Kalau bisa jangan sampai jatuh ke tangan orang lain.  Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemimpin seringkali menggunakan jurus  'aji mumpung'  memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya untuk berlaku semena-mena, memeras bawahan dan juga memperkaya diri sendiri.  "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka."  (Matius 20:25).  Sedikit sekali pemimpin yang berani berkata seperti rasul Paulus:  "Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu."  (Filipi 3:17).

     Sadarkah, bahwa sebagai orang percaya, kita ini sesungguhnya adalah seorang pemimpin, entah itu pemimpin rohani bagi jemaat, pemimpin dalam keluarga, pemimpin kantor dan sebagainya?  Sudahkah kita menjadi pemimpin yang mampu memberikan teladan yang baik, ataukah kita pemimpinn yang justru menjadi batu sandungan?

"Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."  Matius 5:16