Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Agustus 2016
Baca: Lukas 18:9-14
"Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai." Lukas 18:10
Dalam pembacaan firman ini kita mendapatkan pelajaran berharga dari kehidupan dua orang yang memiliki latar belakang hidup yang bertolak belakang: 1. Orang Farisi, orang yang menganggap diri sendiri sebagai orang yang benar, suci dan saleh. 2. Pemungut cukai, seorang yang merasa diri sebagai seorang pendosa. Keduanya adalah sama-sama orang Yahudi dan sama-sama pergi ke bait Tuhan. Mereka berdoa kepada Tuhan yang sama, namun mereka mendapatkan jawaban doa yang berbeda: orang Farisi tidak beroleh pembenaran di hadapan Tuhan, sedangkan pemungut cukai pulang sebagai orang yang dibenarkan oleh Tuhan.
Apa yang membuat Tuhan memberikan penilaian berbeda? Orang Farisi adalah salah satu kelompok keagamaan masyarakat Yahudi yang betul-betul menegakkan dan menaati Taurat secara teliti. Karena ketaatannya melakukan hukum Taurat ini mereka menganggap diri sebagai orang yang benar, suci dan saleh. Itulah sebabnya ketika berdoa di bait Tuhan ia memuji dirinya sendiri di hadapan Tuhan dengan mengatakan bahwa ia telah melakukan semua hukum Tuhan, dan bahkan berani membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain: "...aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok,
bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai
ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku." (ayat 11-12). Orang Farisi memang orang yang terkenal sangat fanatik dalam menjalankan hukum, dan ketaatannya menjalani ibadah dan pelayanan patut diteladani. Lalu apa yang salah dari orang Farisi ini? Karena ia menganggap dirinya benar (menurut penilaian sendiri) dan memandang rendah orang lain. Kata menganggap dirinya benar dapat diterjemahkan menjadi yakin. Orang Farisi merasa sangat yakin terhadap dirinya sendiri karena merasa sudah menaati hukum Taurat tanpa ada yang terlewatkan.
Keyakinan ini adalah kesalahan fatal karena yang menilai benar adalah dirinya sendiri, bukan Tuhan yang memberikan penilaian. Padahal jika Tuhan yang menilai, semua manusia yang ada di muka bumi ini "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak." (Roma 3:10). (Bersambung).
Tuesday, August 2, 2016
Monday, August 1, 2016
PERKATAAN YANG TEPAT PADA WAKTUNYA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Agustus 2016
Baca: Amsal 17:1-28
"Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin." Amsal 17:27
Ada peribahasa 'dalamnya laut dapat diduga, tetapi dalamnya hati siapa yang tahu.' Ini menyiratkan bahwa isi hati seseorang tidak dapat ditebak. Bisa saja orang tampak ramah dan sopan, tetapi begitu kepentingan pribadinya terusik secepat kilat ia berubah menjadi garang, lalu keluarlah perkataan pedas dan menyakitkan sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan memicu terjadinya konflik. Alkitab memperingatkan: "Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi." (Amsal 10:19). Perkataan yang tidak dikendalikan secara bijaksana dapat membuat syak dalam hati, menyinggung perasaan dan akhirnya merusak hubungan yang sudah terjalin sebelumnya. "Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah." (1 Korintus 10:32).
Firman Tuhan menasihati agar kita selalu berhati-hati dalam berkata-kata, dan seyogianya kata-kata kita diucapkan di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat pula. "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak." (Amsal 25:11). Yang menjadi permasalahan: kita seringkali tidak bisa menahan diri berkata-kata atau berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu, padahal kata-kata yang sudah terlanjur diucapkan tidak mungkin ditarik kembali dan pada saatnya kita harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. "Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman." (Matius 12:36). Oleh karena itu kalau tidak perlu bicara adalah lebih bijak kita diam, daripada banyak bicara namun perkataan tersebut bukannya membangun tetapi menghancurkan kehidupan orang lain.
Kita harus selalu ingat bahwa setiap perkataan yang keluar dari mulut kita akan diperhatikan dan dipegang oleh orang lain. Berhati-hatilah! Jangan sampai kita salah bicara, sebab hal itu dapat menimbulkan kekecewaan dan akar pahit dalam diri orang lain!
"...supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu." Yesaya 50:4a
Baca: Amsal 17:1-28
"Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin." Amsal 17:27
Ada peribahasa 'dalamnya laut dapat diduga, tetapi dalamnya hati siapa yang tahu.' Ini menyiratkan bahwa isi hati seseorang tidak dapat ditebak. Bisa saja orang tampak ramah dan sopan, tetapi begitu kepentingan pribadinya terusik secepat kilat ia berubah menjadi garang, lalu keluarlah perkataan pedas dan menyakitkan sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan memicu terjadinya konflik. Alkitab memperingatkan: "Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi." (Amsal 10:19). Perkataan yang tidak dikendalikan secara bijaksana dapat membuat syak dalam hati, menyinggung perasaan dan akhirnya merusak hubungan yang sudah terjalin sebelumnya. "Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah." (1 Korintus 10:32).
Firman Tuhan menasihati agar kita selalu berhati-hati dalam berkata-kata, dan seyogianya kata-kata kita diucapkan di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat pula. "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak." (Amsal 25:11). Yang menjadi permasalahan: kita seringkali tidak bisa menahan diri berkata-kata atau berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu, padahal kata-kata yang sudah terlanjur diucapkan tidak mungkin ditarik kembali dan pada saatnya kita harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. "Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman." (Matius 12:36). Oleh karena itu kalau tidak perlu bicara adalah lebih bijak kita diam, daripada banyak bicara namun perkataan tersebut bukannya membangun tetapi menghancurkan kehidupan orang lain.
Kita harus selalu ingat bahwa setiap perkataan yang keluar dari mulut kita akan diperhatikan dan dipegang oleh orang lain. Berhati-hatilah! Jangan sampai kita salah bicara, sebab hal itu dapat menimbulkan kekecewaan dan akar pahit dalam diri orang lain!
"...supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu." Yesaya 50:4a
Subscribe to:
Posts (Atom)